Meracik Sustainable Marketing Strategy Nilai tambah

Meracik Sustainable Marketing Strategy: Rahasia Segelas Kopi

Halo! Kali ini saya berkesempatan membuat podcast bersama Ananditha Mayasari (Ditha), AVP Marketing Kopi Kenangan.

Ditha punya lebih dari 10 tahun pengalaman di berbagai industri untuk marketing dan digital. Sekarang Ditha bertanggung jawab untuk marketing awareness dan revenue Kopi Kenangan di bagian fresh brew. Sebelumnya beliau menjabat sebagai Group Head Digital Marketing untuk semua brand Kenangan.

Di episode ini kita akan membahas tentang:

  • Marketing di Kopi Kenangan
  • Posisi digital marketing dan aplikasi dalam strategi bisnis minuman kopi
  • Tips untuk launching brand baru / Go To Market

Tulisan ini adalah wrap up bagian pertama dari podcast Inovasi dan Strategi: Menang dengan Digital Marketing dan Community.


Terima kasih Ditha udah datang di podcast ini. Ditha udah bekerja malang melintang di marketing dan digital, juga di berbagai industri. Pasti banyak insight yang bisa dipelajari.

Kopi Kenangan kan brand “commodity”, harganya mulai dari 20 ribuan. Kalau melakukan marketing untuk Kopi Kenangan untuk drive growth, apa yang biasanya diprioritaskan?

Pertama harus ngerti kategorinya dulu, and then know your customer, and then know how to speak to your customer. Especially untuk Kopi Kenangan, kita menyasar segmen middle class. We give them high quality products, Indonesian coffee, tapi dengan harga yang lebih kuat dan merakyat. Range harganya mungkin sekarang di 20-25 ribu lah ya, dan basket size user sekitar 35-40 ribu gitu. Very different dari jualan yang mahal mahal gitu, tapi kita bisa expect user juga punya frekuensi beli yang lebih tinggi.

About growth, pasti kita lihat dulu projection revenue-nya. Kita mau healthier revenue, meaning, kita tidak selalu bakar uang dengan diskon. We don’t giveaway coffee for free, for example. Kita pasti cek dengan Product team, dengan Supply Chain juga. Gimana cara kita bisa bikin produk yang secara
revenue itu healthy dan kita masih bisa kasih promotion ke user, but not burning money sampai profit margin minus?

Kopi Kenangan sekarang lebih ngeliatin ke profit. Kita udah pass the era of burning money. Jadi kita perlu
manage budget control-nya juga, karena kita ada budget marketing untuk all channel.

I have to think, misalnya bikin campaign awareness. Untuk distribution kontennya, for example, Kopi Kenangan punya 800 toko. Gimana caranya bikin local store marketing. Aset marketing apa yang ada di store yang bisa bikin user know about the product. Digital marketing jalan, social media content juga.

Budget lalu kita lihat, compare to revenue. Berapa sih rasio yang sehat untuk budget ke net sales revenue kita? Dan we play around di situ. Itu yang kita bisa control.

On the consumer side, kita perlu tahu pricing strategy-nya dulu. Sweet spot-nya user itu spending di range harga berapa. Biasanya kita lihat dari traction product di market and do lots of market research yang relate ke target audience. Karena kadang kita set target quite low, tapi ternyata user mampu spend 30% lagi di atas, itu low hanging fruit yang harus kita kejar.

Karena pemain kopi sekarang makin banyak, baik dari dalam atau luar negeri, kita harus improve brand stickiness-nya. We know Kopi Kenangan has been here for seven years, tapi apakah kita udah top of mind? Jadi tetap harus improve brand stickiness juga.

Dan karena harga murah, gimana caranya kita bisa tetap achive the target? We expect by doing this, user also improve their frequency of buying.

Channel pembelian tadi kan banyak banget, ada offline, online, bisa via grab juga. Kita nggak tahu marketing kita itu impact-nya seperti apa. Gimana caranya mengatur itu semua?

Kalau dari sisi company kan cuma mau liat achieve target atau ga, jadi itu terserah marketing mau atur gimana, yang penting spendingnya make sense.

Kalau ekspektasi channel mana yang harusnya product more sales, kita maunya ke inhouse channel, which is offline store, yang orang dateng walk in atau mungkin dari app. Makanya sekarang kita bikin campaign biar user aware bahwa inhouse channel kita lebih murah buat mereka.

Kita juga tetap jualan di other channel kayak aggregator: GoFood, GrabFood, ShopeeFood, karena visibility kita tetap harus ada di sana. Kita harus ada spending juga to sell something di GrabFood dan GoFood. Kan mereka kayak marketplace ya, so you have to compete with other players juga.

Kalau misalnya user udah punya intent, “Gue pengen beli Kopi Kenangan nih”, it’s easy lah. Mereka akan buka dan langsung search Kopi Kenangan. Tapi gimana kalau user yang job to be done-nya adalah “Gue pengen beli kopi”, nah it’s the battle ground.

Gimana caranya supaya kita punya visibility yang lebih dibandingin brand lain di marketplace / aggregator? Yang penting tuh kita perlu jagain rating. The better the rating, pasti kita akan lebih up ke atas.

Pertama, punya banyak ketersediaan, store availability. Makanya store Kopi Kenangan sekarang ada 800 and counting, to make it easy and accessible for everyone. The more store that you have, and then the better rating that you have, akan bantu kita punya visibility di dalam aggregator.

Kalau misalnya punya luxury untuk punya standing uang lebih, mungkin marketers juga bisa pakai native ads-nya agregator. Itu lumayan membantu sih. Karena untuk orang-orang yang intent-nya masih browsing atau baru search by category, when they see your banner, orang jadi bisa tertarik beli.

Jadi it’s important to manage your visibility terutama di platform yang bukan inhouse kita.

Tadi disebut banyak dari sisi awareness dan stickiness. Jadi untuk marketing, pembuatan kontennya didesain untuk obyektif apa?

Ya tergantung, kita campaign-nya misalnya mau product focus; karena roadmap product launch kita lumayan padat. Kopi Kenangan tuh setiap 2-3 bulan sekali kita launching new product. As a brand we still have to lead the market by keep innovating, walaupun in the end orang akan beli yang itu-itu aja.

When we launch the product, we have to ensure untuk menggunakan communication yang
sesuai agar orang bisa ngelihat value productnya. Mungkin kita akan coba banyak beauty shot, bikin product enjoyment, thirst trap, dan lain-lain. It’s easy for people untuk nyobain kalau dia ngelihat product shot-nya menarik.

Brand security campaign juga harus ada karena kita mau manage our position in the market. Misalnya
tahun lalu kita bikin campaign ulang tahun Kopi Kenangan. Jadi tiap tahun ada Hari Mantan Nasional atau Harmanasis, biasanya kita cuma play around promotion lah. Tapi last year we did it differently, kita bikin jingle, digital video, PR stunt, dan lain-lain yang fokusnya lebih ke brand.

Jadi bisa antara dua angle itu sih: brand superiority sama product focus. Jadi depending on the roadmap, different period akan ada different things.

Kayaknya banyak yang perlu dilakukan, termasuk dari sisi media yang dipakai. Juga perlu hati-hati karena perlu mendapatkan profit. Nah, posisi digital marketing itu seperti apa di Kopi Kenangan?

Balik lagi, beda industry, user behavior-nya juga akan beda, sales channel-nya juga akan berbeda. Kalau di Kopi Kenangan, kita masih tetap butuh digital. Pertama, kita punya RTD (Ready to Drink) yang FMCG part nih, Kopi Kenangan botol. Kedua, yang fresh brew. Itu dua-duanya punya different behavior.

Untuk RTD, karena di FMCG, TV plays a big role. Kita bikin iklan pakai BA (brand ambassador) yang nationwide juga, sekelasnya Nicholas Saputra dan Isyana Saraswati. Digital hanyalah merupakan extension. Spending tetap besar di TV.

Kebalikannya untuk yang fresh brew, karena jualannya bukan di modern trade dan kita tidak main di TV, jadi we spend more in digital. Memang channel terbesarnya tetap ada di digital dan local store marketing untuk offline presence. Every time we launch new campaign, kita harus revamp tokonya. OOH kita main juga, kayak billboard gitu.

Balik lagi kita lihat industrinya apa, our target audience consume medianya apa. Itu kelihatan banget sih, for example, every time TVC lagi naik, sales-nya bisa kelihatan naik. Ketika TVC-nya turun dan run digital doang, pasti sales slowing down pelan-pelan.

Product yang lebih mass market, pasti akan butuh communication yang lebih mass. Kalau untuk yang
lebih targeted seperti Kopi Kenangan fresh brew, masih lebih ke arah performance marketing / targeted digital ad.

We have to manage stakeholders’ expectation karena conversion itu ada funnelnya, dari awareness, consideration, baru sampai conversion. Kadang-kadang fokus ke conversion di lower funnel lalu lupa kalau upper funnel itu perlu diisi juga gitu. Jadi sekarang di Kopi Kenangan, kita banyak main di awareness supaya kita punya enough funneling untuk sampai ke conversion.

Banyak di awareness, berarti seperti di FMCG. Nanti akan ngelihat lift / impactnya seperti apa. Ngga direct tapi akan coba cari korelasinya ya?

Betul, kita akan banyak main di BLS dan BHT. Tapi yang highly targeted performance, convert dari app install ke then purchase juga ada. Measurement-nya akan macam-macam, nggak cuma lihat berapa ROI dan conversion. Ada banyak faktor yang kita measure juga.

Beberapa hari lalu aku sempet baca konten di LinkedIn. Ada orang menganalisa brand kopi sebelah. Dia merasa bahwa brand kopi itu banyak spend untuk placement di aggregator. Akan lebih baik kalau si brand kopi bisa mengarahkan lebih banyak customer beli direct via app. Nah, apakah memang app itu bisa mengubah distribusi penjualan kopi?

Ini menarik banget, mas. Back then everybody wants to have their own app. Pertanyaannya adalah seberapa urgent sih kita punya app untuk beli kopi?

Yang dijual dari app itu nggak cuma convenience-nya aja, karena you get the same convenience juga kalau pakai aggregator. Jadi kita tambah fitur loyalty, atau punya special pricing / bundle untuk orang-orang yang beli di app. Itu yang kita coba untuk switch habit ke app.

Tapi kalau ditanya, sebenarnya overall sales masih lebih gede di walk in. datang ke store. Kita ngerti nggak semua orang mau download app, misalnya “Kenapa gua harus download app, orang gua beli kopi cuma seminggu sekali”. So Kopi Kenangan now udah integrate loyalty kita di POS kasir, app, dan WhatsApp juga.

Kita sekarang nggak hanya fokus untuk user download app terus transact, tapi juga when you transact in the store. You can mention your phone number and then kita bisa kumpulin loyalty point dan dapetin voucher juga di situ. Once we get their phone number, kita coba retarget mereka lewat WhatsApp atau ads karena kita udah ada data first party.

Kalau masalah habitnya bisa berubah atau enggak sih, orang itu masih seperti, “Kalau gue pakai, gue dapat apa?”. Even in agregator pun kita lihat orang masih agnostik. Mereka switch aja ke mana yang lagi promo lebih gede.

Jadi app itu nice to have, tapi if you want user to buy more and improve frekuensi beli mereka, kita perlu first party data which mostly dari app. Sekarang memang kita agresif untuk improving app ya, karena secara cost it’s better to spend in your own inhouse channel.

Kita sebelumnya punya loyalty program, cuma agak kompleks dan benefitnya kurang jelas. Kita baru relaunch di awal tahun untuk new loyalty program dengan tiering dan benefit juga lebih jelas. Ekspektasinya adalah user know that when they collect points on our site, itu bisa di spend lagi di produk kita.

Kita tetap grow the app, tapi the way we aquire user and the way we treat our user is a bit different. We activate user based on the RFM, categorization dari frekuensi sama monetization-nya. Jadi kita bisa lebih efektif untuk monetize user dan tahu misalnya, berapa voucher yang harus kita kasih untuk reactivate

Setiap 2-3 bulan sekali launch brand baru. Apa yang harus dilihat saat launching brand baru dibandingkan saat monthly marketing BAU?

Menurut aku untuk GTM, pertama, harus tahu market-nya dulu. Kalau kita mau launching new product harus understand dulu demand di market-nya. Research itu very important. Second, kita lihat ada other player nggak in the in the same game wether in Indonesia atau di luar. Kalau emang nggak ada yang main, either orang belum kepikiran atau emang nggak ada yang mau main di situ. So you have to be alarmed.

Kita perlu lihat juga saturated nggak market-nya, misalnya kita mau launch new bubble tea, ya market boba di Indo kan emang udah banyak dan dan semua brand dari China, Taiwan, Jepang masuk, Itu udah saturated belum. Kalau mau masuk, di segmen yang mana, targeting audience-nya siapa, selling point-nya apa, dan price point-nya berapa? Can we fight di situ atau cuma buang-buang energi?

Bedanya dengan marketing plan biasanya growth plan-nya harus lebih jelas. Kita harus lihat misalnya, first year mau achieve apa. Resource plan juga harus realistik, misalnya kita akan pakai existing resource which orangnya itu itu doang, so mungkin ada project harus dikorbanin. Lalu kita juga perlu remind stakeholders ini in line nggak sama visi misi kita as a brand.

Dari sisi planning marketingnya sendiri akan beda, new brand itu kan belum punya historical data, jadi udah pasti akan banyak pakai baseline / assumption dari other brand atau experience dari one of the
member.

Dari sisi budget akan berbeda, karena introducing new brand pasti butuh higher budget compared to existing brand. Dari sisi timeline untuk roll out-nya juga biasanya akan lebih lama karena tidak ada previous model yang udah pernah dites.

Yang ketiga, dari sisi media. Karena media consumption untuk target audience baru mungkin akan berbeda, jadi kita akan coba form new media strategy.

Kuncinya harus bener di research awal dan test produk di market will play really big role.

Mantab, terima kasih banyak Ditha sudah share banyak insight yang menarik.

Punya masukan untuk interview dan konten Nilai Tambah? Kirimkan idemu ke grow@nilaitambah.com
Share artikel ini:

Update Terkait